back to top
spot_img
🌙 🕌 𝗧𝗮𝗾𝗮𝗯𝗯𝗮𝗹𝗮𝗹𝗹𝗮𝗵𝘂 𝗠𝗶𝗻𝗻𝗮 𝗪𝗮 𝗠𝗶𝗻𝗸𝘂𝗺 🕌 🌙 — Selamat Hari Raya 𝗜𝗱𝘂𝗹 𝗙𝗶𝘁𝗿𝗶 𝟭𝟰𝟰𝟲 𝗛 ✨ 🙏 Semoga Allah menerima amal ibadah kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan melimpahkan rahmat serta keberkahan bagi kita semua. 🤲 𝗠𝗼𝗵𝗼𝗻 𝗠𝗮𝗮𝗳 𝗟𝗮𝗵𝗶𝗿 𝗱𝗮𝗻 𝗕𝗮𝘁𝗶𝗻.
🌙 🕌 𝗧𝗮𝗾𝗮𝗯𝗯𝗮𝗹𝗮𝗹𝗹𝗮𝗵𝘂 𝗠𝗶𝗻𝗻𝗮 𝗪𝗮 𝗠𝗶𝗻𝗸𝘂𝗺 🕌 🌙 — Selamat Hari Raya 𝗜𝗱𝘂𝗹 𝗙𝗶𝘁𝗿𝗶 𝟭𝟰𝟰𝟲 𝗛 ✨ 🙏 Semoga Allah menerima amal ibadah kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan melimpahkan rahmat serta keberkahan bagi kita semua. 🤲 𝗠𝗼𝗵𝗼𝗻 𝗠𝗮𝗮𝗳 𝗟𝗮𝗵𝗶𝗿 𝗱𝗮𝗻 𝗕𝗮𝘁𝗶𝗻.

HBN “Masihkah Buku Disebut” Jendela Dunia?

Date:

Reporter: Okik

Jawa Timur | pikiranrakyat.org – Seperti diketahui, 17 Mei adalah peringatan Hari Buku Nasional (HBN). Peringatan hari buku ini berdasarkan berdirinya Perpusnas (Perpustakaan Nasional) yang didirikan pada 17 Mei 1980.

Buku adalah ‘jendela dunia’. Begitu bunyi pepatah yang sangat terinternalisasi dalam pikiran kita. Pepatah tersebut bahkan menjadi salah satu pilihan sampul buku tulis yang umum digunakan siswa Sekolah Dasar. Dan kini, perkembangan digitalisasi yang semakin revolusioner, terutama setelah pengalaman pembelajaran daring yang pernah menjadikan alat gadget sebagai sarana utama pembelajaran, apakah masih menjadikan buku sebagai kekuatan ampuh sarana belajar?

Diakui atau tidak, kemudahan akses informasi menjadikan mesin pencari google sebagai solusi terfavorit segala pertanyaan. Dalam hal ini, bukan hanya berbagai informasi dapat diketahui jawabannya dari mesin pencari google tersebut, namun juga jawaban pertanyaan yang sifatnya matematis. Sebagai contoh, jika seorang siswa mendapati soal matematika melalui ujian secara online, dan siswa tersebut enggan berhitung ataupun tidak memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan jawabannya secara manual, maka jawaban atas hitung-hitungan kerap dapat ditemukan dalam google.

Lantas, apakah kemudahan informasi tersebut layak dianggap perubahan yang cenderung negatif? Tentu tidak. Namun, yang menjadi PR (tugas) kita bersama saat ini adalah, masihkah ‘buku’ memiliki tempat di hati generasi penerus bangsa saat ini?

Sangat menarik ketika kita teringat masa-masa sebelum dikenal pembelajaran daring, yaitu saat-saat dimana perpustakaan menjadi tempat favorit siswa atau mahasiswa untuk mencari referensi dalam tugas pendidikannya. Pengalaman saya sendiri sebagai ‘mantan mahasiswa’, menghabiskan waktu di perpustakaan dan dapat meminjam buku dalam jumlah maksimal peminjaman, adalah kebiasaan yang sangat menyenangkan.

Buku sebagai referensi, juga menjadi penekanan bagi mahasiswa agar memilih buku primer dibandingkan sekunder. Buku primer, yaitu yang berasal dari penulis secara langsung, menjadi favorit para pencari ilmu, meskipun buku primer umumnya terlihat ‘usang’ karena tahun cetakan yang sudah ‘tua’ dan memiliki kuantitas peminjaman tinggi. Sedangkan buku sekunder adalah bahan pustaka yang mengandung informasi yang tidak berasal langsung dari pengarangnya, melainkan hanya merupakan kumpulan informasi dari berbagai sumber.

Di era digital saat ini, bahan pustaka (bacaan) memang masih bisa didapatkan semua orang, bahkan dengan cara sangat mudah dan gratis tanpa harus membeli buku atau mencari pinjaman di perpustakaan, yaitu melalui mesin pencarian google. Namun diakui atau tidak, bahan pustaka tersebut umumnya bukan sumber acuan primer, atau dengan kata lain, dari penulis pertama. Melainkan, banyak yang sifatnya mengutip dari pustaka penulis lainnya. Hal ini terlihat dalam gaya penulisan di dalam blogspot atau berbagai laman media sosial.

Sekalipun bukan sumber acuan primer, namun setidaknya bahan pustaka dalam berbagai laman digital tetap menyajikan manfaat, selama ulasan-ulasan tersebut memiliki tujuan positif.

Dan inilah perubahan yang memang menjadi life style saat ini. Bahwa produk digital menjadi penyaji informasi. Kebiasaan tersebut juga banyak terjadi di kalangan anak-anak sekolah.Terutama saat era daring, dimana tugas diberi dan dikerjakan secara online melalui aplikasi Microsoft Teams. Alhasil, tidak sedikit anak-anak yang memiliki buku pelajaran yang terlihat rapi dan minim coretan karena intensitas penggunaan yang memang menurun dibandingkan era tatap muka.

Dari fakta tersebut, maka tak heran jika penjualan buku di toko-toko buku menurun, terutama di era pembelajaran daring. Bahkan di era tatap muka saat ini, bukan berarti gairah membaca buku kembali meningkat seperti sebelum era daring. Terbukti, bahan pelajaran bisa diakses melalui online.

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, jika buku pelajaran penjualannya menurun, maka bagaimana dengan buku non pelajaran? Jika kemudian buku non pelajaran (sekolah) semakin menurun daya belinya, maka patutlah kita membuat pertanyaan retorika, bahwa: ‘Apakah membaca buku masih disebut sebagai jendela dunia?’

Minat membaca di Indonesia memang patut menjadi perhatian, hal ini disebabkan indeks minat baca Indonesia yang diteliti oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sangat rendah, yaitu hanya 0,001, bahwa dari 1000 orang, hanya 1 orang yang gemar membaca.

Fakta tersebut tentunya menjadi perhatian kita semua karena terkait potensi yang dimiliki generasi penerus bangsa. Hal ini disebabkan membaca bukanlah sebatas aktivitas yang bertujuan memberikan wawasan bagi subyek yang membaca, melainkan stimulus otak dan beragam aspek kognitif yang akan semakin kuat bagi pembacanya.

Membaca memang aktivitas yang sangat penting, dan merupakan anjuran agama. Diantaranya Islam, yang menjadikan membaca sebagai salah satu identitas dalam ibadah, yaitu yang diterangkan dalam wahyu pertama Nabi Muhammad SAW, yaitu perintah ‘Iqra’, yang berarti membaca.

Dalam dunia modern saat ini, membaca, dan tepatnya membaca buku, tetap memiliki segudang manfaat bagi manusia. Dijelaskan dalam situs healthline.com, bahwa setidaknya membaca buku memiliki keuntungan (benefits), diantaranya yaitu: Strengthens the brain, Increases empathy, Builds vocabulary, Prevents cognitive decline, Reduces stress, Aids sleep, Alleviates depression, dan Lengthens lifespan.

Dengan kata lain, membaca buku secara kesehatan memiliki banyak pengaruh positif bagi kehidupan, diantaranya yaitu memperkuat otak, meningkatkan empati, mencegah penurunan aspek kognitif, dan mengurangi stress. Salah satu keuntungan tersebut, yaitu mengurangi stress, secara nyata telah terbukti, karena wawasan baru yang didapatkan dari membaca buku, secara tidak langsung menimbulkan kelegaan bagi pikiran dan hati.

Akhir kata, semoga kita senantiasa mencintai membaca sebagai aktivitas mencari ilmu, seperti halnya kita memperkuat bangunan untuk kebaikan. Diterangkan dalam hadis: “Orang yang berilmu dan orang yang belajar ilmu adalah dua sekutu dalam kebaikan, dan manusia selebihnya tiada kebaikan pada mereka.” (HR. Imam Thabrani).

 

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

Berita terkait
Related

Pembangunan Pagar PDAM Kahuripan Diduga Menyimpang, Pelaksana Kabur Saat Dikonfirmasi

Bogor | Pikiranrakyat.org - Proyek pembangunan pagar tanah di...

Wali Kota Depok Diminta Tegas! Warga Geram, Tak Mau Kotanya Jadi Arena Konflik Debt Collector dan Ormas

DEPOK | Pikiranrakyat.org – Keributan antar debt collector dan...

DPD IKM Depok Jalin Komunikasi Strategis dengan Pimpinan DPRD

DEPOK | Pikiranrakyat.org - Dalam mempererat silaturahmi dan membangun...

DP3AP2KB Depok Dampingi Korban Kekerasan Seksual Anak, Ini Kronologisnya!

Depok | Pikiranrakyat.org – Pemerintah Kota (Pemkot) Depok langsung...