Jakarta | pikiranrakyat.org – Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, telah menyatakan bahwa aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah telah diubah dengan munculnya Undang-Undang Cipta Kerja, dan tidak akan memberatkan penyelenggara umrah. dan haji khusus. Menurut dia, regulasi yang ada memastikan lembaga pengelola keberangkatan umrah dan haji terlindungi dengan baik dan memenuhi tanggung jawabnya agar tidak terjadi masalah.
Hidayat mengatakan dalam keterangannya, Selasa (28/3/2023), pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang telah direvisi melalui Perpu Cipta Kerja (peraturan pemerintah darurat) dan telah disahkan DPR menjadi undang-undang, seperti Sanksi administratif dalam hal kegagalan pemberangkatan atau pemulangan, tidak bertujuan untuk membebani penyelenggara yang telah memberangkatkan calon jemaah haji dengan baik.
Ia menjelaskan aturan tersebut tidak membebani penyelenggara resmi haji dan umrah yang memiliki rekam jejak baik. Sebaliknya, peraturan akan menyaring lembaga bermasalah yang tidak terbukti dan tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya.
HNW menambahkan, dengan adanya aturan tersebut, penyelenggara atau lembaga yang mengelola pemberangkatan jemaah haji dan umrah mengetahui aturan tersebut dan berkomitmen untuk menaatinya.
โBagi penyelenggara yang tidak bisa memenuhi aturan tersebut, memang sulit, dan itu akan merugikan kepentingan jemaah. Tidak hanya merugikan jemaah, tapi juga merusak reputasi lembaga, reputasi Indonesia, dan reputasi negara. penyelenggara umrah,โ jelasnya.
Dalam paparannya yang berjudul ‘Aturan dan Kebijakan Umrah dan Haji di Luar Negeri’, HNW mengungkapkan bahwa membahas haji dan umrah juga berarti membahas regulasi atau aturan. Dalam pelaksanaan haji dan umrah tentunya ada aturan-aturan yang harus diikuti.
โKarena kita ini negara bangsa, maka setiap negara memiliki aturan untuk memberangkatkan jemaahnya, baik untuk haji maupun umrah. Aturan masing-masing negara tidak boleh sama dengan negara lain,โ imbuhnya.
HNW mengutip Malaysia, di mana terdapat pembedaan subsidi bagi calon jemaah haji. Jika di Indonesia, setiap jemaah haji mendapat subsidi yang sama besarnya, di Malaysia, jemaah haji yang sangat kaya membayar lebih besar dari yang lain.
Sedangkan di Mesir, ada aturan baru dimana jamaah umrah terhubung dengan pemerintah negaranya sehingga bisa memantau dan mencarikan solusi bagi jamaah yang mengalami masalah.
Di Pakistan, lanjutnya, ada aturan yang memberikan hukuman berat bagi siapa saja yang gagal menunaikan kewajibannya dalam memberangkatkan jemaah haji atau umrah dengan baik.
โDi sini kehadiran negara penting untuk memastikan regulasi dimaksimalkan, mensosialisasikan regulasi, dan mengingatkan adanya sanksi yang sangat berat jika regulasi tidak dilaksanakan,โ tegas HNW.
HNW menyatakan jemaah haji dan umrah di Indonesia memiliki potensi yang luar biasa, baik dari segi jumlah maupun potensi ekonomi. Ia menyebutkan, jumlah jemaah haji di Indonesia sekitar 230.000, sedangkan jumlah jemaah umrah di masa pandemi COVID-19 diperkirakan tak kurang dari 1 juta.
โJika haji dan umrah kemudian dimaksimalkan sebagai bagian dari diplomasi Indonesia yang dapat dikelola secara proaktif, maka akan menjadi kontribusi untuk menjaga dan meningkatkan martabat Indonesia di mata dunia Islam, khususnya di dunia internasional lainnya,โ pungkasnya.(Rz)