Maluku | Pikiranrakyat.org – Akses jalan utama yang menghubungkan Kecamatan Waelata dengan Kecamatan Teluk Kayeli di Kabupaten Buru kini bak kubangan raksasa. Jalan sepanjang 17 kilometer dari Desa Debowae ini rusak parah dan nyaris tak bisa dilintasi. Anehnya, kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun, namun pemerintah daerah maupun provinsi tampak tak bergeming.
Parahnya kondisi jalan meliputi, lubang besar, genangan air, dan kubangan lumpur mendominasi ruas jalan ini. Tidak ada perbaikan berarti. Hanya kendaraan offroad bersuspensi tinggi yang mampu menerobos jalur ekstrem ini. Adapun jalan tersebut tidak berlaku bagi kendaraan biasa, apalagi roda dua. Keluhan tersebut terlontar oleh salahsatu warga, ia mengatakan jangan harap bisa melintas tanpa tersungkur.
“Kalau soal jalan ini, saya sudah mandi lumpur berkali-kali. Tapi yang lebih menyakitkan, pemerintah seperti sengaja menutup mata,” ujar seorang pemotor asal Wamsait yang enggan disebutkan namanya saat ditemui Rabu (28/5/2025).
Lebih parahnya lagi, di beberapa titik, warga adat terpaksa membangun jembatan kayu secara swadaya dengan uang pribadi, agar roda dua dan pejalan kaki bisa melintas. Namun, itu pun tak gratis. Pengguna jalan dikenai tarif antara Rp10 ribu hingga Rp20 ribu per kendaraan, dan Rp5 ribu untuk pejalan kaki. Kondisi ini seperti memaksa rakyat membayar mahal atas kelalaian pemerintah.
Dulu, warga bahkan menggunakan rakit bambu untuk menyebrangi kawasan rawa. Kini jembatan ala kadarnya itu menjadi satu-satunya harapan agar mobilitas tetap berjalan, meski nyawa dipertaruhkan.
Permasalahan jalan ini bukan rahasia lagi. Protes demi protes telah dilayangkan oleh masyarakat. Tapi suara rakyat seolah hanya gema di padang sunyi. Tak ada respon serius dari Pemerintah Kabupaten Buru maupun Pemerintah Provinsi Maluku. Warga merasa ditelantarkan di tengah derita yang tak berkesudahan.
“Mungkin pemerintah memang tidak sanggup. Kalau tidak bisa, sampaikan secara terbuka. Jangan biarkan rakyat terus berharap pada janji kosong,” sambung si pengendara.
Kini, warga hanya bisa berharap keajaiban. Sebab, dari pemimpin yang seharusnya hadir membawa solusi, yang datang justru sikap acuh dan pembiaran. (ET)