Jakarta | pikiranrakyat.org – Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) memprotes penempatan tembakau dalam kelompok zat adiktif dalam RUU Kesehatan. Forum diskusi cendekiawan Islam di PBNU tidak hanya memprotes tapi juga menolak dan menuntut agar regulasi tembakau dihapuskan dari RUU tersebut.
“Kami menolaknya”, tegas Ketua LBM PBNU Mahbub Ma’afi saat dihubungi, Senin, 8/5/2023.
Menurut Ketua LBM PBNU, Mahbub Ma’afi, aturan tembakau sudah cukup dengan aturan yang ada. Sikap resmi LBM PBNU akan segera disampaikan dalam rekomendasi yang sedang mereka kerjakan.
“Satu dua hari ini akan selesai”, ucapnya.
Penolakan tersebut disampaikan usai forum diskusi yang digelar PBNU pada Sabtu, 6 Mei 2023. Salah satu hal yang dibahas adalah pengaturan dalam Pasal 154 yang menyamakan tembakau dengan zat adiktif lainnya seperti psikotropika, narkotika, dan alkohol. Argumentasi para pembicara yang hadir dalam diskusi tersebut beragam.
Wakil Ketua Lembaga Bantuan dan Penyuluhan Hukum PBNU, Nur Kholis, misalnya, mencontohkan nasib buruh yang mata pencahariannya bergantung pada industri tembakau. Sementara itu, Sekretaris Syuriyah PBNU, Sarmidi Husna, juga menyatakan pemerintah diskriminatif terhadap produk tembakau.
“Nah, masyarakat yang sangat bergantung dengan industri tembakau berjumlah 6 juta jiwa. Di mana letak penyelesaian masalahnya jika 6 juta jiwa ini terancam karena undang-undang ini?”, terang pria yang pernah menjabat Ketua Komnas HAM itu, dikutip dari laman resmi PBNU.
Dalam draf RUU Kesehatan yang dirilis di laman resmi Kementerian Kesehatan, terdapat beberapa poin yang diatur dalam Pasal 154. Secara ringkas, pasal tersebut mengatur produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif agar tidak mengganggu dan merugikan individu, keluarga, masyarakat, dan kesehatan lingkungan.
Berikutnya, Katib Syuriyah PBNU Sarmidi Husna juga menyebut pemerintah telah bersikap diskriminatif terhadap produk olahan tembakau.
“Ini membuat kita bertanya-tanya kenapa kok pemerintah begitu diskriminatif? Jangan-jangan karena miras itu mayoritas produk impor?”, Sarmidi yang juga Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) ini.
Zat adiktif yang dimaksud dalam pasal ini meliputi semua bahan atau produk adiktif yang dapat menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan/atau masyarakat. Peraturan tersebut juga mengatur persyaratan dan standar yang harus dipenuhi oleh produk tembakau dan zat adiktif lainnya.(Arf)