Maluku | Pikiranrakyat.org – Praktik kejam diduga eksploitasi anak kembali mencuat di areal tambang emas ilegal Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku. Anak-anak di bawah umur tampak diperalat untuk melakukan pungutan liar (pungli) kepada para pejalan kaki dan pengendara ojek, dengan memegang senjata tajam berupa parang. Fenomena ini tak hanya mencoreng nurani, tapi juga menampar wajah penegakan hukum di wilayah tersebut.
Fakta miris ini terkuak setelah investigasi langsung dilakukan oleh awak media Pikiranrakyat.org, Rabu (28/5/2025), di kawasan tambang emas Gunung Botak. Di lokasi, anak-anak terlihat berjaga di sejumlah palang jalan sambil mengacungkan parang untuk memaksa setiap orang yang lewat membayar sejumlah uang. Praktik ini dilakukan secara terang-terangan tanpa rasa takut akan tindakan hukum.
Tak hanya anak-anak, sejumlah orang dewasa juga mengambil peran serupa. Mereka berdiri di titik-titik akses dengan parang panjang, memberlakukan pungutan terhadap warga yang hendak melintas. Berdasarkan temuan di lapangan, sedikitnya terdapat 50 palang liar yang tersebar di areal tambang, menjadikan aktivitas masyarakat dan tukang ojek terganggu dan terbebani secara ekonomi.
Situasi ini menandakan adanya pembiaran sistemik dari aparat penegak hukum. Meski Undang-Undang secara tegas melarang dan mengatur sanksi berat terhadap eksploitasi anak, faktanya praktik tersebut justru dibiarkan berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat.
Mengenai pembiaran aksi kriminalitas khusus nya terhadap anak-anak, adapun payung hukum yang diabaikan antara lain:
– Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, secara tegas melarang eksploitasi ekonomi terhadap anak. Dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
– Sementara itu, Pasal 76I secara jelas menyatakan bahwa, โSetiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.โ
Tak main-main, sanksi pidana untuk pelaku eksploitasi anak diatur dalam Pasal 88, yakni hukuman penjara hingga 10 tahun dan/atau denda hingga Rp200 juta. Bahkan, bukan hanya pelaku utama, siapa pun yang membiarkan terjadinya eksploitasi anak juga terancam sanksi hukum.
Namun, penegakan hukum tampaknya jalan di tempat. Keberadaan senjata tajam, pungli di jalan umum, hingga pemanfaatan anak-anak sebagai pelaku pungutan liar seolah dianggap hal lumrah di kawasan tambang ilegal Gunung Botak.
Hal penting menjadi pertanyaan besar untuk Aparat Penegak Hukum (APH), dalam menanggapi kasus yang sudah berlangsung lama, menujukkan lemahnya pengawasan dan tindakan hukum terhadap praktik tersebut menimbulkan pertanyaan besar:
– Di mana aparat penegak hukum saat anak-anak dipaksa turun ke jalan, memegang parang, dan memalak pengguna jalan? Siapa yang sebenarnya mengendalikan praktik kotor ini, dan mengapa seolah dibiarkan?, “Saya harus mengeluarkan uang ratusan ribu pak sudah lama kejadiannya, ” keluh tukang ojek yang ditemui oleh awak media.
Sudah saatnya aparat kepolisian, pemerintah daerah, serta lembaga perlindungan anak turun tangan dan bertindak tegas. Eksploitasi anak adalah kejahatan serius yang harus dihentikan, bukan ditoleransi. Pembiaran hanya akan menciptakan generasi yang tumbuh dalam kekerasan, ketidakadilan, dan kehilangan masa kecilnya.
Anak-anak bukan alat untuk pungli. Mereka adalah masa depan bangsa yang harus dilindungi, bukan dimanfaatkan. (ET)