Jakarta | pikiranrakyat.org – Dalam peristiwa yang luar biasa, Munarman, mantan juru bicara Front Pembela Islam (Front Pembela Islam atau FPI), telah mengambil sumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Janji ini dilakukan secara terbuka di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Salemba, Selasa (8/8/2023).
Munarman, yang sebelumnya terpidana karena keterlibatannya dalam kegiatan terkait terorisme, divonis tiga tahun penjara. Namun, selama berada dalam kurungan, ia telah menunjukkan kerja sama dan partisipasi aktif yang luar biasa dalam berbagai inisiatif rehabilitasi di dalam lembaga pemasyarakatan.
Yosafat Rizanto, Kepala Lapas Kelas IIA Salemba menyoroti keterlibatan Munarman dalam upaya rehabilitasi dan secara terbuka menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dalam upaya tersebut. Rizanto mengaitkan pernyataan loyalitas Munarman baru-baru ini kepada NKRI sebagai hasil nyata dari proses deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan. Perkembangan ini menandakan keteguhan hati dan pembaharuan komitmen para narapidana terorisme untuk menganut prinsip-prinsip Pancasila, ideologi dasar Indonesia.
Erwedi Supriyatno, Direktur Rehabilitasi dan Pelatihan Vokasi Narapidana Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (DitjenPAS), memuji prestasi tim Lapas Salemba. Dia menggarisbawahi bahwa janji Munarman menandai tonggak penting, dengan 168 narapidana terorisme kini telah menyatakan kesetiaan mereka kepada NKRI. Pencapaian ini jauh melampaui target kinerja Ditjen Pemasyarakatan tahun 2023 dengan selisih yang mengesankan yaitu 336%.
Supriyatno mengatakan ikrar Munarman tidak hanya melambangkan kesiapannya untuk memeluk NKRI tetapi juga komitmennya untuk menjaga Pancasila. Ideologi nasional ini bukan hanya prinsip dasar negara Republik Indonesia tetapi juga merupakan etos panduan yang mempromosikan toleransi, menghormati keragaman, dan pengakuan peran intrinsik Pancasila baik sebagai Ideologi Nasional dan Dasar Negara.
Menanggapi hal tersebut, Munarman menegaskan program deradikalisasi di Lapas Salemba tidak menjadikan narapidana terorisme sebagai penerima pembinaan semata, melainkan sebagai peserta aktif dalam proses tersebut. Dia mengakui peran penting yang dimainkan oleh pembimbing dan wali dalam menumbuhkan minat, kecenderungan, dan kegiatan positif narapidana. Munarman menegaskan, upaya rehabilitasi tidak hanya sebatas memberikan pengetahuan, tetapi juga melibatkan warga binaan dalam menyusun strategi rehabilitasi yang lebih efektif.
Dia mengucapkan terima kasih kepada berbagai pemangku kepentingan, termasuk administrasi lembaga pemasyarakatan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus 88 (Densus 88), dan Kementerian Agama, atas kontribusi mereka dalam transformasi pribadinya. Pesan penutup Munarman bergema dengan seruan untuk meningkatkan literasi, memperluas perspektif, dan pendekatan berpikiran terbuka untuk melawan ideologi radikal. Hal ini, menurutnya, akan memungkinkan masyarakat untuk merangkul sudut pandang yang lebih luas dan menghindari terjerat oleh dogma-dogma berpikiran sempit.
Komitmen publik Munarman terhadap NKRI menjadi bukti keberhasilan upaya berkelanjutan Indonesia untuk merehabilitasi dan mengintegrasikan kembali individu yang telah terlibat dalam kegiatan radikal. Transformasinya menggarisbawahi potensi program deradikalisasi tidak hanya untuk melawan narasi ekstremis tetapi juga untuk menumbuhkan rasa kesetiaan dan tanggung jawab terhadap bangsa dan nilai-nilainya. (In)